Senin, 15 April 2013

The Cupu Backpacker: TN Alas Purwo I

Di suatu hari yang awalnya berjalan nyaman:

P : "kapan ngeblog?"

Y : "ngg, besok deh ya"

Di suatu hari (lain) yang awalnya berjalan nyaman (juga)

P : "kapan lanjut ngeblognya?"

Y : "besok deh kalo dah nggak sibuk, baru pusing sama proposal"

Dan hari-hari ku mulai terganggu dengan pertanyaan yang sama setiap lali bertemu dengan si P itu, sebut saja namanya Pinkky (disamarkan). Kalian tahu rentenir yang biasa di sinetron-sinetron itu? Nah, si Pinkky ini nagihnya udah kayak rentenir gitu. Dan nagihnya nggak pikir tempat, mulai dari kampus, sms, bahkan dia juga sering tiba-tiba keluar dari plafon rumah saya. Oke, saya mulai tidak nyaman dengan semua ini.

Di suatu hari yang mulai tidak nyaman kalau ngampus:

P : "NGEBLOG RA?!!! NEK ORA TAK PANGAN KOE!!!"

Y : "okesip" *mlipir*

Sambil ngelus-elus deltoideus saya yang tidak lebih besar dari buah mangga mini ini, saya mau ngelanjutin nulis tentang perjalanan saya ke Alas Purwo beberapa waktu yang lalu. Yang mana ya?; Cupu Backpacker is Back!. Masih dengan teman-teman saya yang cupunya nggak tahu malu. Jadi ceritanya gini nih... Berangkatlah 4 orang mahasiswa ke Alas Purwo, disana banyak satwa liarnya, tidak terkecuali babi hutan. Ketika sampai disana, 3 orang lainnya mencari kayu bakar, dan 1 orang yang paling keren diantara mereka nunggu di tenda, sambil makan indomie. Datanglah seekor babi hutan, berperawakan besar, berbulu lebat dan pake tanktop warna pink. Lalu si babi hutan itu merebut indomie mahasiswa paling keren tadi, tapi  mahasiswa itu melawan. Dia menyiram mata babi hutan itu dengan kuah indomie, dan babi hutan itu lari kebirit-birit sambil ngucek matanya yang pedih (nggak ngerti juga gimana babi hutan bisa ngucek matanya). Selesai. HAHAHAHA! *babi hutan tidak seseram yang saya bayangkan*

Hmm udah ah cerita fiktifnya, yuk mulai beneran. Daripada ntar malem mimpi babi hutan kan nggak lucu juga. Nggak perlu panjang lebar lagi. Btw ada yang tau nggak kenapa "panjang lebar", nggak "lebar panjang"?  *penting*

29 Januari 2013

16.30 WIC (Waktu Indonesia bagian Cupu)

Kita udah janjian untuk ketemu langsung di terminal, saya dianter Jati, Pinkky dianter Khofi, Mega dianter Pepi, Humar dianter . . . Ciyeeee ciyeeeeee *uhuuuuukk uhuuuuuuk* . . . Bapaknya :/. Oh iya, kita berangkat ke Banyuwangi naik bus, namanya Akas Mila (istrinya Budiman). Kenapa? karena nggak ada pesawat yang kesana. Sebenernya ada alternatif lain, yaitu kereta ekonomi, namanya KA Srikandi (satu-satunya kereta yang menuju Banyuwangi, dari kota manapun hanya ada satu ini).

Ny. Budiman

Kalau dari masalah tarif jauh lebih murah, kalau nggak salah cuma 35ribu, sedangkan bus 80ribuan. Terus kenapa nggak naik kereta? Karena ternyata jadwal pemberangkatannya itu cuma satu kali dalam sehari, dan saya lupa pokoknya tidak cucok dengan jadwal kita. Lagian kita nggak level deh kalau naiknya ekonomi (kere tapi soksokan), atau lebih tepatnya sih saya. Karena terkesan awut-awutan, nggak bisa istirahat, dan yang paling bahaya . . . Banyak banci berkeliaran :( *banci lebih menakutkan ketimbang babi hutan*

Njir, kurang serem apalagi cobak
Pinkky dan Mega memilih duduk di daerah tengah, sedangkan saya dan teman homo saya duduk di kursi paling belakang, sambil menjaga backpack kita. Walaupun saya juga nggak percaya kalau ada yang mau maling carrier kami, karena selain isinya yang nggak ada barang berharganya, berat tas-tas itu emang diluar nalar. Agung Hercules juga bakal lordosis kalau jogging sambil memikul carrier kita.

19.00 WIC

Setelah melewati kira-kira 2 jam perjalanan, pukul setengah 7 malam kita sampai di Solo. Dan kota Solo malam itu terasa tidak seramah warga-warganya, karena apa? Busnya mogok. Iya mogok, EM O GE O KA, MOGOK! Jadi kejadian awalnya waktu lagi berhenti di lampu merah (bahasa gawlnya bangjo), dimana pada saat lampu lalin berubah jadi hijau, dan anak TK juga tahu kalau hijau itu artinya jalan terus, busnya nggak jalan-jalan. Nggak tahu kenapa, atau mungkin sopir busnya langsung SD kalik ya. Sampai suara klakson kendaraan-kendaraan lain yang normalnya "tin.. tin.." terdengar seperti "WOI CEPETAN JALAN WOI, UDAH IJO TUH", sampai sudah berubah jadi merah lagi. Saya berusaha khusnudzhon, mungkin sopirnya waktu TK sering titip absen. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya si Akas Mila ini bisa jalan lagi. Tapi, tunggu dulu. Ada yang sedikit aneh dari cara jalan si Akas Mila ini, yang awalnya layaknya bus normal, ini jadi kayak odong-odong yang kehabisan bensin. Tapi entah kenapa saya malah menikmatinya, hitung-hitung wahana gratis. Daripada ke dufan, mahal *mental anak kos*

Ternyata cara jalan yang kayak odong-odong itu memang disengaja, jadi si Akas ini dipaksakan untuk jalan, supaya tidak menyebabkan kemacetan di bangjo tadi. Busnya akhirnya mlipir ke tepi jalan yang sekiranya aman, nggak terlalu tengah agar tidak mengganggu pengendara lain, dan juga nggak terlalu minggir supaya tidak nabrak pedagang kaki lima.

Saya cuma bisa diam, ngelirik kiri ada Humar, dia juga diam. Karena kita berdua memang nggak tahu mesin, kalau mesin tamiya sih ayok ayok aja. Samar-samar terdengar kalau masalahnya ada di koplingnya, info nih buat yang nggak tahu kopling. Kopling adalah sebuah alat yang digunakan untuk menghubungkan dua poros pada kedua ujungnya dengan tujuan untuk mentransmisikan daya mekanis (Wikipedia, 2010). (Yudha, 19 tahun, anak skripsi yang cinta wiki).

Kita cuma bisa ngelangut di dalam bus, pas lagi asik-asiknya ngelangut (mana ada ngelangut yang asik), tiba-tiba hape saya bergetar yang menandakan kalau ada sms masuk.

From : Pinkky C2 (Carnivore Cupu)
Bos, ngelih. Kapan ini berangkatnya?

Saya mulai merasa kasihan, bukan kasihan dengan perut Pinkky, tapi kasihan dengan deltoideus Mega. Yang kalau lengah sedikti saja bisa cuil. Saya nggak bisa ngebayangin kalau sampai Pinkky ngegigit Mega, suwer saya nggak tega. Kan kasihan Mega :(

To : Pinkky C2
Untuk sementara makan sirloin deltoideusnya Mega dulu ya, buat ngeganjel perut. Deket sini nggak ada Indomaret.

Duh, mulai ngelantur ceritanya. Kancuuuuuuttt yuuudd (sori typo, maksudnya "lanjut")

Kurang lebih setengah jam sudah kita terlantar di kota Solo, kota yang terkenal dengan penganan khas mpek-mpek nya ini. Situasi mulai tidak kondusif, karena perut saya nggak mau kalah dengan Pinkky. Tiba-tiba terdengar suara anak-anak SMA yang lagi tawuran, saya lihat sekeliling, ternyata nggak ada apa-apa. Oh... Ternyata suara nggak jelas itu datangnya dari dinding lambung saya yang sedang dicabik-cabik oleh cairan asam. Pas lagi asik-asiknya kelaperan, tiba-tiba kuping saya mendengar suara dari bapak-bapak penumpang lain yang lagi ngobrol dengan penumpang yang lainnya lagi. "Wah, kalau kayak gini biasanya baru besok pagi jalan lagi. Diganti bus lainnya, saya udah sering kok mogok kayak gini". HELL! Kalimat itu terdengar lebih menggemparkan ketimbang pernyataan Farhat Abaas yang menyatakan diri mau nyalon jadi presiden, atau pun bapak presiden yang tiba-tiba punya akun twitter verified supaya nggak kalah gaul dari rakyatnya. Saya lemas, ngelirik Humar. Dan ternyata dia juga ngelirik saya. Bukan, ini kita bukan lagi memacarkan sinyal-sinyal asmara. Tapi karena kita berdua memang mendengar apa yang dikatakan bapak tadi dengan jelas.

Tapi entah kenapa walaupun panik, sepertinya saya nggak stres-stres banget dengan ngadatnya si Akas ini. Mungkin karena kita bareng-bareng kalik ya. Jadi kalau mau terlantar, terlantar bareng. Nggembel juga bareng, ah susah seneng bareng-bareng :)) *njir, kenapa jadi melambai gini tulisan saya -___-*

Spertinya proporsi nulis saya sudah mulai nggak proporsional nih, masak nyeritain bus mogok aja sampe beberapa paragraf. Ah, untuk mempersingkat waktu, pokoknya entah gimana caranya waktu itu busnya bisa hidup. Karena saya sudah capek ngebantuin kru-kru Akas ngebenerin bus pake doa, akhirnya sama tidur pulas selama perjalanan menuju ke TN Alas Purwo. Tentunya tambah pulas dengan Humar di sisi saya *tetep*

30 Januari 2013

08.00 WIC

Akhirnya kita sampai juga di kota Banyuwangi, kita turun di Benculuk. Hmm emang lumayan aneh sih namanya, apalagi kalau orang sana lebih fasih nyebutnya "mbenculuk" (jadi kalau mau ke Alas Purwo nggak perlu turun di kota Banyuwangi). Kita berhenti di sebuah pertigaan. Seperti biasa, karena penampilan kita yang seperti backpacker dan berwajah bohongi-able, banyak orang menyerbu kita. Mulai dari sopir angkot, ojek, sampai pilot pesawat juga menginginkan kami. Kita mulai panik, mana yang harus kita pilih? Oke, saya akui kalau saya sangat membutuhkan Khofi dalam keadaan seperti ini. Oh tunggu sebentar, mungkin kita bisa mengandalkan Mega dalam hal tawar menawar seperti ini. Pikir saya.

Mega : Neng Alas Purwo piro pak?, dengan aksen jawa-nya yang kekalimantan-kalimantanan
Sopir : 250 wae mbak.
Mega : SATUS YO PAK!, tawar Mega dengan nada tinggi.
Sopir : Wes mlaku wae mbak, jawab sopir angkot itu ringan, seraya meninggalkan kami.
*Mega bukannya tawar-menawar, malah tawur-menawur*

Setelah bernegosiasi cukup lama, beberapa orang-orang tersebut mulai meninggalkan kami. Kami jalan kaki, dengan harapan ada sopir angkot yang mengejar kami. Dan benar, ada satu sopir angkot yang menyusul kita. Angkot itu berhenti, sopirnya keluar dan menawarkan harga 180 ribu. Kita berdiskusi sejenak, saat kita diskusi bapak sopir angkot itu bilang kalau jalannya emang rusak, jadi harga segitu udah termasuk murah. Kita mulai termakan rayuan gombal. Oke, akhirnya kita deal dengan sopir angkot tersebut. Oh iya, btw nama sopir angkotnya tersebut pak Agus.

Pak Agus : Yowes yok, gek numpak neng montor, sambil menunjuk mobil angkotnya.

Oh God, dimana ini? -___-

Ternyata yang dikatakan pak Agus itu nggak sepenuhnya bohong, jalannya emang lebih cocok sebagai arena off road. Kalau waktu bus mogok itu kayak naik odong-odong kehabisan bensin, kalau angkot ini kayak odong-odong yang bautnya mau lepas. Yep, emang itulah ciri khas angkot. Syarat dikatakan angkot : Punya body, bisa jalan dan suara baut lebih kuat ketimbang mesin. Jalanan yang bergelombang, bau keringat yang menawan ditambah dengan perut yang belum terisi dari kemaren menemani perjalanan kami dari Benculuk menuju ke pintu masuk TN Alas Purwo. Tidak nyaman? Untuk saya dan Humar jelas nggak nyaman, tapi hal tersebut nggak berlaku untuk Pinkky dan Mega.

Mega lagi tidur
ketularan Mega

Perjalanan dari Benculuk menuju ke pintu masuk Alas Purwo memakan waktu kurang lebih satu jam. Saya takjub ketika perjalanan mulai memasuki kawasan hutan, bagaimana sepanjang jalan sama sekali tidak ada rumah penduduk. Yep, nggak ada  rumah penduduk, sama sekali. Yang ada malah pepohonan besar yang menjadi rumah bagi satwa-satwa disana, dan saya pun sadar kalau saat ini kita sedang "bertamu". Bertamu di   wilayah teritorial dari satwa-satwa asli sana. Saat itu saya berpikir untuk tidak macam-macam, apalagi di "rumah orang". Eh rumah hewan deng.

Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang, dan kira-kira produksi iler Pinkky dan Mega sudah diluar batas, kita sampai juga di pintu masuk. Disana ada sebuah pos masuk yang saat itu dijaga oleh dua orang pegawai. Disana kita mulai tanya-tanya tentang apa saja yang ada di hutan yang konon paling tua di pulau Jawa ini. Iya, tua. Dan pasti lebih tua dari Humar. Di pos masuk itu kita membasar biaya masuk, dan setelah bayar saya geleng-geleng. Bukan mahal, bahkan untuk bayar parkir mobil saja tidak cukup. Per orang hanya dikenakan biaya Rp. 1.250, mulai saat itu saya menyatakan diri sebagai pecinta taman nasional. Oh iya, btw yang tanya-tanya tadi bukan kita, lebih tepatnya hanya Humar seorang. Saya dan Pinkky mlongo sambil sesekali bercanda, Mega? Masih tidur di angkotnya pak Agus.

Destinasi pertama dan yang paling dekat dengan pintu masuk adalah pura Luhur Gili Salaka. Kita masih sangat fresh, tenaganya masih jos, semangatnya masih siap tempur. Tapi setelah 1km perjalanan kita berhenti. Enggak, nggak capek kok, cuma pengen foto-foto aja. Pas lagi istirahat foto-foto, ada seorang bapak-bapak mengeendarai sepeda motor lengkap dengan seragam pegawai yang bertuliskan "PEH" (oh, berati namanya Pak Peh, pikir kita semua). Pak Peh berhenti dan mengajak ngobrol kami, beliau bilang kalau habis bertugas dari Sadengan, yang kebetulan juga merupakan salah satu tujuan destinasi kita.

Balik lagi ke pura Luhur Gili Salaka tadi, itu seperti pura pada umumnya, namun sayang pada saat itu kita tidak bisa masuk dan melihat bagian dalamnya. Karena pura ini hanya dibuka 210 hari sekali, untuk acara keagamaan berupa upacara Pager Wesi oleh orang Hindu. Akhirnya kita cuma bisa mengambil gambar dari luarnya saja. Walaupun jarak dari pintu masuk cuma 2km, tapi di dekat pura ini sudah banyak teman-teman saya monyet berkeliaran. Oke, kalau misal 2km kira-kira ada 5 ekor monyet. Perjalanan kita kurang lebih 10km, jadi ada berapakah monyet yang kita temui? #SoalBiologi
teman-teman unyil


Pura Luhur Gili Salaka : 5/10

Perjalanan kita lanjutkan, tenaga masih lumayan, semangatnya juga nggak turun-turun banget kok, lumayan. Kita angkat bekpek kita lagi, kita langkahkan kedua kaki, walaupun lelah telah menyiksa diri ini. Kita lanjut menuju ke Sadengan. Apa itu yud? Jadi, kalau dari website-nya TN Alas Purwo sendiri, Sadengan adalah sejenis padang rumput, yang merupakan habitat dari berbagai jenis satwa. Mulai dari banteng, burung merak, kijang dan yang nggak perlu disebut adalah babi hutan, DASAR BABI! Jarak dari pura menuju ke Sadengan ini kira-kira berjarak 4km, mungkin kira-kira 10-15 menit. Kalau naik motor. Kalau jalan kaki dengan bekpek, ditambah belum kamsukan apapun dari pagi, mungkin sekitar 45-60 menit.

betapa lakinya gesture kedua wanita ini
Tengah hari kita sampai disana, jadi sekalian sholat dzuhur dan mempersiapkan makan siang. Jadi, di  Sadengan ini sudah diberikan fasilitas berupa peminjaman Binokuler (kalau bahasa gawlnya, keker), dan yang paling penting dan tiada duanya, peminjaman itu gratis. Gretoooooongggg cyyyiiiinnn. Kita langsung bergegas naik ke gardu pandang untuk melihat padang rumput lebih luas. Namun sayang, waktu kita datang kesana tidak tepat. Kalau kata petugas disana, biasanya satwa-satwa itu keluar pada saat pagi atau sore hari. Kalau siang lagi pada boci katanya. Jadi kalau lagi pada keluar, nggak perlu pake binokuler untuk melihatnya, bisa dengan mata telanjang (ya iyalah, kalau mata dipakein baju malah nggak keliahatan kalik -___-).

Karena saat itu sudah saatnya makan siang, dan ditambah juga dengan perut kami yang belum terisi dari pagi sampai siang, kita merubah gardu pandang itu menjadi dapur umum. Pinkky mengambil posisi sebagai head chef, dan kita bertiga sabagai pembantu. Kata chef kita ini, menu sarapan yang sekaligus makan siang kita ini adalah nasi goreng telur kornet orak-arik. Dia mulai memasak nasi menggunakan nesting, tampak meyakinkan. Baru beberapa menit ditambah bumbu nasi goreng, mulai ragu. Kita diperintahkan untuk menyalakan parafin satu lagi, untuk memasak telur. Saya hanya manut-manut saja.

head chef-nya lagi mengamati kedua pembantunya. Mega? ketingggalan di angkotnya pak Agus
Baru kira-kira 15 menit, chef Pinkky sudah memberikan perintah untuk mengangkan nesting dan segera mematikan parafin. Kita manut saja, head chef. Namun malapetaka datang, karena sudah sangat berpenglaman, sampai-sampai mematikan parafin saja kita tidak bisa. Kita panik, head chef juga mulai panik dengan keadaan ini. Humar mencoba memukul parafin menggunakan sandalnya, mungkin menurut dia api itu seperti nyamuk, yang langsung tewas dengan pukulan. Namun yang ada malah sendal dia yang nyaris terbakar. Situasi mulai mamanas, apalagi lantai dari gardu pandang itu terbuat dari kayu. Oke, saya harus melakukan tindakan penyelamatan, pikir saya dalam hati.Tanpa pikir panjang saya menutup api itu menggunakan anduk dalam hitungan detik, Alhamdulilllah apinya mati. Tapi tunggu dulu, anduk saya setengah terbakar, dan yang lebih parah, itu anduk satu-satunya yang saya bawa. Matilah.

Oke, lupakan sejenak handuk itu. Karena perut saya sudah mulai berontak. Kita memberikan ekspektasi yang tinggi dari hasil karya chef Pinkky, juara masak se-Ngawi. Masak apa? Masak percaya sih, emang penduduk Ngawi cuma satu orang?. Setelah kita buka nestingnya . . . . Taraaaaaaaaa, luar biasa sekali. Dari auranya saja makanan tersebut sudah menampakkan aura negatif.

Dan ternyata benar, nasi goreng itu lebih cocok diberi nama beras yang dibumbui nasi goreng. Telur sama kornetnya? Hambar. Dan setelah itu kita masih menempuh perjalanan berkilo-kilo lagi. Mulai saat itu saya trauma dengan nasi. Yudha, takut dengan babi hutan, banci dan . . . Nasi. Nama masakan Pinkky tadi nasi goreng telur kornet orak-arik, mungkin lebih tepatnya Nasi Goreng Telur Kornet Orak-orak Maning.

ekspresi Pinkky lagi ngintip banteng mandi, bantengnya betina
Sadengan
Sadengan : 7/10

Dengan semangat yang sudah luntur, dan tenaga yang nyaris habis, kita mencoba melangkahkan kaki lagi, dengan mengandalkan kalori dari beras bumbu nasgor tadi.Destinasi selanjutnya adalah pantai Triangulasi yang bersebelahan dengan pantai pancur. Jarak dari Sadengan ke triangulasi kurang lebih 5km. Oke, semua mulai nampak capek. capek, pake begete. Jadi jangan heran kalau kami sedikit-sedikit berhenti untuk istirahat, yang pasti lebih sering daripada Humar ganti CD. Khususnya Mega, wanita perkasa itu sudah mulai pucat. Jadi perjalanan 5km itu memang memakan waktu yang cukup lama, lebih lama daripada Khofi mandi.Kalau di film 5cm itu meletakkan tujuan 5cm di depan mata, kalau kita pantai triangulasi 5km nggak di depan mata. Soalnya emang nggak kelihatan dan masih sangat jauh. Btw aku nyoba ngelihat gambar jas dokter di layar hape, tak deketin 5cm, bukannya jadi semangat buat cepet-cepet lulus, yang ada malah mataku yang mendadak minus. Filosofi yang sesat.

Setelah perjalanan yang memakan waktu 1 tahun 5 bulan 32 hari, kita sampai juga di pantai Triangulasi. Kita pikir ada pengunjungnya, namanya juga pantai, harusnya kan tempay wisata. Tapi apa? Nggak ada primata lain kecuali kita berempat dan banyak monyet berkeliaran. Memang kalau kata bapak-bapak yang bertugas di pintu masuk, pantai Triangulasi ini memang habitatnya monyet ekor panjang. Oh iya, selain habitat monyet, hal yang menarik dari pantai ini adalah banyaknya sesajen yang ada di pinggir pantai.
pantai Triangulasi
Saya nggak tahu persis sesajen itu ditujukan ke siapa, tapi memang nggak begitu kaget kalau memang pantai dijadikan sebagai tempat keramat oleh orang-orang tertentu. Umumnya sesajen-sesajen tersebut isinya hampir sama, bunga-bunga, telur dan beberapa ribu uang. Hmm otak saya sempat berpikir licik, gimana kalau kita ambil uangnya? Kalau dalam 1 buang sajen itu ada uang 3ribu, kalau 10 sajen ajakan udah lumayan. #MentalAnakKos #Tetep

Pantai Triangulasi : 6/10

Semangat kita tinggal seuprit, tenaga udah nggak ada. Dan tampaknya wajah Mega semakin pucat. Kita menuju ke pantai Pancur, kira-kira jaraknya 2 km dari pantai Triangulasi, dan memilih jalur pantai, dengan pemikiran nggak perlu balik ke jalan utama dulu. Tapi ternyata itu tidak cukup membantu, hamparan pasir yang membentang di sepanjang perjalanan kami menambah beban tersendiri. Kondisi Mega semakin mengkhawatirkan, hampir setiap beberapa langkah kita berhenti sejenak. Tapi btw untungnya ini Mega, coba kalau Pinkky, terus pingsan? Siapa yang kuat mau ngegotong? *Pinkky anak baik*

Kita jalan di sepanjang pantai ditemani dengan ratusan ekor monyet ekor panjang yang menatap kami bersamaan, yang seakan-akan memberikan isyarat "Hei, ada orang asing" satu sama lain. Jarak kita dengan monyet-monyet itu mungkin hanya 5 meter saja. Oh well, bagaimana negeri ini memang menyimpan banyak variasi satwa. Disaat kita tengah melangkahkan kai dengan sisa tenaga yang ada, kita dikejutkan dengan jejak kaki satwa lain. Dan saya yakin bukan monyet. Seketika di pikiran saya mulai muncul bermacam-macam hewan. Macan? Kijang? Bab . . . Ah sudahlah, semoga cuma jajaknya aja yang serem.

jejak hewan misterius
zoom in

Pancur, pancur berkeping-keping. Hancuuuuurr woooyy!!!. Nama pancur sendiri karena di dekatnya ada sungai kecil yang cukup terjal dan mengalir menuju ke laut, jadinya mancur, kayak pipis. Kita sampai di Pancur udah sore banget, sehinggga langsung mendirikan tenda di camping ground yang udah disediakan. Tapi lagi-lagi tempatnya diluar ekpektasi kami, nggak ada pengunjung lain. Hanya ada dua orang petugas yang tinggal di suatu rumah, satu rumah milik penduduk asli sana, dan beberapa mahasiswa magang dari UGM. Oke, saya berusaha menerima kenyataan, karena ini memang taman nasional, tujuannya untuk konservasi alam. Bukan untuk wisata kan? Dan masak iya bayar Rp. 1.250 mau dapet fasilitas mewah? Menurut saya dengan uang segitu banyak tempat yang kita kunjungi ini sudah lebih dari "mewah".

Layaknya di Triangulasi, di pantai Pancur ini nyari monyet lebih mudah daripada nyari orang. Monyet-monyet itu lihai bergelantungan di sepanjang pepohonan besar, yang sepertinya sudah cukup berumur. Saat sedang nikmat-nikmatnya istirahat, mendadak awan berwarna kekuningan. Oh well, ini sunset. Yep, sunset di tepi pantai. Great. Seperti anak SD yang mendengar bunyi loceng selesai pelajaran, kita berempat langsung bergegas menyambut keajaiban Allah ini.

saat baru menuju ke pantai, biru kekuningan
sampai di tepi pantai, setengah menit dari foto sebelumnya. Oranye
eman-eman kalo nggak narsis hihi :p
Namun sayang kira-kira kita cuma bisa menikmati pemandangan luar biasa itu 15 menit. Tapi, bukannya sesuatu yang istimewa itu memang ada dalam jumlah limit? Setelah sunset hilang, kita bergegas mandi. Ntah kapan terakhir saya mandi, mungkin  sebelum airnya saya pakai, PH nya netral. Setelah mengguyur tubuh saya, mungkin jadi nyaris nol, saking asemnya. Oh iya, ngemeng-ngemeng di Alas Purwo ini nggak ada lsitrik dan sinyal. Listrik hanya dinyalakan dari sore sampai tengah malam saja, menggunakan jenset.

Malemnya kegiatan yang kita lakukan adalah masak. Tenang, kita nggak bodo-bodo banget kok sehingga ngulangin apa yang kita makan siang itu. Berahubung saya sudah trauma dengan yang namanya "nasi", malam itu kita putuskan untuk memasak mie instant. Mie instant yang kita bawa saat itu salah satu merk yang paling populer (penulis pro, nggak sebut merk). Malam itu kita masak indomie. Chef Pinkky kembali menjadi leader, menunya kali ini sangat sulit, mie instant. Setelah selesai proses masak-memasak itu, kita mulai menyantap indomie goreng itu. Rasanya? Wow, luar biasa sekali. Saya rasa itu adalah indomie terenak yang pernah saya makan, senesting berempat pun tak jadi masalah. Mungkin itu semacam balas dendam, karena siangnya makan nasi yang masih mentah (baca:beras). Mulai saat itu saya nggak pernah lagi meragukan kemampuan Pinkky dalam dunia masak-memasak, chef Pinkky. Professional chef, dengan masakan andalannya indomie goreng.

Pantai Pancur : 8/10

Fyuuuuuhhh . . . Meskipun kayak dikejar buldoser, akhirnya kelar juga postingan ini. Biasanya kan kalo editor ngajar deadline penulisnya itu kayak dikejar kereta kan? #IfYouKnowWhatIMean. Ini baru hari pertama dari beberapa hari petualangan kita di Banyuwangi, masih ada beberapa hari berikutnya. Bagaimana  kampungannya Pinkky ngeliat penyu? Bagaimana kampungannya Humar ngeliat Mangrove? Dan bagaimana ada sepasang malaikat yang mau menampung kita? Ah, besok lagi deh ya ngeblognya. Kapan-kapan lagi kalau proposal ku udah kelar hehe.

Mohon maaf kalau postingan ini masih banyak yang kurang, karena emang dikejar deadline. Salahin aja yang nyuruh cepet-cepet haha :p


SALAM CUPU!
"Karena cupu adalah pilihan, yang tak pernah diharapkan"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar